RAPIMNAS REPDEM

Friday, August 12, 2011

PEMIMPIN TANPA GAGASAN


Carut marutnya situasi dan kondisi bangsa ini merupakan sepenuhnya tanggung jawab pemimpin atau elit penguasa ditingkat nasional maupun lokal. Akar persolan ini jika di urai satu persatu ternyata ada dalam mekanisme rekrutmen dan talent scouting didalam partai-partai politik.

Konstruksi sosial sebuah bangsa sangat dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan politik dominan, dalam hal ini tentunya adalah partai-partai yang jika digabung memiliki lebih dari 90% kursi diparlemen nasional maupun lokal, partai-partai yang memiliki kader yang menduduki jabatan di eksekutif, mulai dari presiden sampai dengan bupati/walikota. Dan jangan dilupakan bahwa jabatan  lain seperti sekda, kepala bagian, kepala dinas didaerah,dari menteri sampai dirjen, bahkan Hakim Agung dan Ketua KPK merupakan orang-orang yang duduk sebagai hasil dari tarik menarik dan tawar menawar kepentingan partai-partai politik tersebut. Maka tidak heran jika bukan hanya pergantian menteri dan seterusnya yang terjadi pada pergantian kepemimpinan nasional, bahkan pergantian kepala dinas dan sekda juga merupakan hal yang pasti terjadi setelah kepala daerah dilantik. Yang lebih kentara dalam dinamika politik didaerah adalah penentuan calon bupati/wakil, walikota/wakil dan gubernur/wakil ditentukan berdasarkan komposisi atau persentasi dari jumlah kursi di parlemen lokal. Ini artinya bahwa partai politik memiliki akses yang luar biasa besar menuju kekuasaan dan punya peran dan tanggung jawab yang besar atas nasib rakyat dan bangsa ini.

Yang kita gugat disini adalah seberapa transparan dan partai politik dalam melakukan rekrutmen anggota dan kadernya? Dan yang tak kalah penting apakah talent scouting benar-benar dijalankan sebelum partai harus menentukan siapa kadernya yang maju dalam kompetisi politik di tingkat nasional dan lokal?

Ada dua hal penting yang tampaknya sangat dibutuhkan dan menjadi pertimbangan partai dalam merekrut 'kader-kader'nya atau tokoh yang diusung partai dalam pemilihan nasional dan lokal, hal ini juga dilatarbelakangi oleh kebutuhan partai dan jalan pintas untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Pertama adalah kebutuhan partai akan logistik operasional dan yang kedua adalah kebutuhan partai akan suara dalam kompetisi politik. Untuk memenuhi kebutuhan yang pertama, partai biasanya merekrut pengusaha yang pasti mau menalangi sebagian dari kebutuhan partai. Yang kedua adalah partai merekrut vote getter, dalam hal ini adalah selebritis. Pilihan ini tentu dengan pertimbangan bahwa kedekatan akses selebritis tersebut terhadap media sehingga akan semakin terbuka kemungkinan bagi dirinya untuk menambah suara. Seorang pemain sinetron atau miss indonesia tentu saja jauh lebih populer dibanding dengan seorang tokoh masyarakat biasa yang setiap hari berkeringat dan berlepotan lumpur got dan sampah gotong royong. Ini mungkin saja merupakan sinyalemen kepanikan para petinggi partai karena tidak memiliki kader asli yang dapat menjadi vote getter sehingga memilih tokoh-tokoh yang populer sebagai calon yang mewakili partai dalam setiap kompetisi politik. 

Dua kebutuhan yang hanya bisa dijawab partai dengan tergesa-gesa tersebut mengindikasi dua hal. pertama, memang partai-partai di Indonesia belum memiliki nilai jual, sehingga partai tidak memiliki kepercayaan diri yang cukup untuk melakukan fund rising secara sehat dan transparan. Kedua, ada masalah dalam talent scouting yang dilakukan partai atau lebih parahnya memang partai tidak memiliki kader yang memiliki talenta untuk di usung.

Tulisan ini lebih mencoba mengangkat kemungkinan hadirnya para pemimpin tanpa gagasan sebagai akibat kegagalan partai dalam melakukan rekrutmen dan kaderisasi internal secara sehat. Persoalan ini dapat menjadi masalah besar karena calon yang mewakili partai tersebut ternyata kemungkinan besar memiliki ideologi atau visi pribadi yang berbeda dengan partai. Jika kader-kader partai yang sudah berhitung tahun saja masih gagap dalam mengimplementasikan ideologi dan platform partai dalam politik anggaran, apalagi kader-kader baru ini.

Jika pengusaha masuk kedalam partai dan atau di usung partai karena pertimbangan kemampuannya dalam membiayai operasional partai dan selebritis karena kemampuannya dalam mendongkrak perolehan suara partai, maka bersiaplah kita memiliki pemimpin tanpa gagasan bagaimana membangun bangsa ini menuju kehidupan yang lebih baik. Nasib jutaan rakyat negeri ini dikorbankan karena kepanikan elit partai yang kekurangan pembiayaan operasional dan kebutuhan akan suara agar partai eksis pada musim kompetisi berikutnya.

Tetapi diatas segala kekurangan tersebut, Partai masih tetap satu-satunya alat yang paling mungkin dan konstitusional untuk mendapatkan kekuasaan, yang dengan itu nasib seluruh rakyat negeri ini ditentukan. Jika kita membiarkan partai dipenuhi oleh orang-orang yang cacat moral dan cacat kapasitas maka dosa kolektif itu juga ada pada kita semua atas tindakan pembiaran kita.

“Ilmu dan gagasan di tangan seorang pemimpin adalah pisau tebas, kebodohan ditangan seorang
pemimpin adalah bunuh diri massal”

No comments:

Post a Comment