RAPIMNAS REPDEM

Monday, August 08, 2011

Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi

Negeri–negeri Eropa mengenal istilah parlementair democratie (demokrasi parlementer) setelah adanya Revolusi Perancis. Parlementair democratie inilah yang dinamakan demokrasi politik, yang pada dasar prinsipnya adalah semua lapisan rakyat mempunyai hak bercampur tangan di dalam politik kenegaraan, hak buat memilih anggota parlemen dan dipilih menjadi anggota parlemen.
 
Jika dilihat secara sekilas memang demokrasi semacam ini sepertinya sudah 100% menyenangkan bagi rakyat: “dengan rakyat, oleh rakyat, buat rakyat”. Tapi sesungguhnya dalam prakteknya rakyat belum 100% senang, terutama di dalam urusan rezeki, urusan ekonomi. Di negara-negara yang memiliki demokrasi parlementer seperti Amerika, Belgia, Belanda, dll disitulah ada kapitalisme. Disanalah kapitalisme tumbuh dengan suburnya dengan memakai tenaga perburuhan. Oleh karena itu parlementair democratie (demokrasi parlementer) belum cukup untuk mensejahterakan rakyat. Perlu ditambah demokrasi pada lapangan yang lainnya, yaitu demokrasi ekonomi. Demokrasi yang mencukupi adalah demokrasi politik dilengkapi demokrasi ekonomi.

Seperti yang tadi dijelaskan, demokrasi parlementer berdiri di Perancis yang pada awalnya negara tersebut merupakan negara feodal dengan cara pemerintahan yang autokratis. Semua kekuasaan kenegaraan, membuat undang-undang, kehakiman, semuanya berpusat ditangan seorang raja. Ia menyatukan dirinya dengan negara sehingga menjadi L’ Etat,c’est moi – negara ialah aku. Inilah cara pemerintahan yang disebut dengan absolute monarchie (monarki absolut), dipimpin oleh seorang raja yang kekuasaanya tidak terbatas. Sang raja mem’’bentengi” kekuasaaannya dengan kesetiaan kaum bangsawan dan kaum yang terpandang.

Namun sekitar akhir abad 18 mulai muncul satu kelas baru pada masyarakat Perancis waktu itu, yang makin lama makin bertambah arti, dan makin kuat. Kelas baru tersebut ialah kelasnya kaum perusahaan. Kelas kaum industri, kaum borjuis, yang menjalankan perusahaan-perusahaan untung mencari untung. Pada awal-awal masa terbentuknya kaum borjuis ini, mereka belum menenmui masalah terhadap pemerintahan feodal itu. Tapi lama kelamaan posisi merekamenjadi penting dalam produksi-produksi masyarakat Perancis sehingga akhirnya kaum borjuis merasakan belengu yang disebabkan oleh pemerintahan monarki absolut tersebut. Segala kekuasaan berada ditangan raja, semua hukum dibuat oleh raja, kaum borjuis harus menerima saja semua aturan-aturan tersebut. Akhirnya merekapun tidak bisa mendapatkanhasil maksimal atas apa yang sudah mereka usahakan.

Kaum borjuis pada akhirnya mencoba memegang kemudi pemerintahan. Jalan satu-satunya pada saat itu ialah  dengan merebut kekuasaan. Tapi apadaya mereka, pihak kerajaan menguasai balatentara, raja bisa memerintah polisi dan hakim – hakim. Disinilah kaum borjuis tersebut memiliki peran yang hebat dalam sejarah itu: mencari kekuatan itu pada rakyat jelata. Mereka semangatkan rakyat dan me“mobilisir” rakyat jelata menjadi suatu tenaga bagi kepentingan mereka sendiri. Kaum borjuis menyadari bahwa rakyat jelata sudah lama ditindas oleh kekuasaan feodal kerajaan. Maka dengan dibangkitkannya pekik perjuangan liberte, egalite, fraternite “kemerdekaan, persamaan, persaudaaraan” serta dengan tuntutan “semua bagi rakyat, semua dengan rakyat, semua oleh rakyat” dan dengan mendirikan parlemen pada saat itu maka terdapatlah apa yang dinamakan dengan Parlementaire Democratie, cara pemerintahan berdasarkan kepada suara rakyat dan kehendak rakyat. Rakyat jelata berjuangan mati-matian demi ideologi baru tersebut. Sampai pada akhirnya bendera Republik Perancis berhasil berkibar sampai sekarang beserta demokrasi parlementernya. 
Revolusi tersebut berhasil! Revolusinya kaum perusahaan dengan menggunakan tenaga dan darah rakyat jelata, berhasil menghapus feodal, otokrasi dan absolutisme. Sehingga memaksa pula negara-negara kerajaan di Eropa berubah menjadi constitutionele monarchie (kerajaan berdasarkan konstitusi) yang harus tunduk kepada undang-undang dan kehendak rakyat.
 
Memang pengaruh feodalisme dari kerajaan benar-benar luntur sama sekali. Tapi munculah kelas kapitalisme yang berkuasa sehinga kapitalisme mulai naik secara jelas. Rakyat jelata yang sebelumnya berjuang mati-matian ternyata setelah kekuasaan yang baru tetaplah sengsara. Dilapangan ekonomi rakyat jelata tersebut tetap merupakan kelas yang menderita. Walaupun mereka setelah revolusi itu memang memiliki hak politik untuk memilih diparlemen, boleh masuk parlemen, boleh bersuara, boleh memprotes – dulunya rakyat hanya memiliki kewajiban saja tanpa memiliki hak sama sekali. Namun dalam bidang ekonomi mereka tetaplah menjadi budak, sama sekali lemah dan tidak berdaya apa - apa. Karena itu timbul kesadaran baru : demokrasi politik itu musti ditambah lagi dengan demokrasi ekonomi. “Orang lapar tidak akan tertolong kalau dia bisa membuka buku undang-undang dasar, tetapi tidak mendapat nasi kenyang-kenyang; bahwasannya satu penghinaanlah kepadanya, kalau mengasihi kerugian kepadanya semacam itu”
 
Azas demokrasi parlementer hanya mengenai kesamarataan politik saja, itu tidak mengenai urusan ekonomi. Azas demokrasi parlementer tetap menghormati milik perseorangan pribadi sebagai sesuatu yang tidak boleh digangu dan tidak boleh dilanggar dan dianggap satu pusaka yang keramat. Hanya menjaminkam “perlindungannya” milik peribadi tidak bisa merubah “isinya” milik pribadi. Ekonomis liberalisme dan politik liberalisme,        -liberalisme maksudnya paham kemerdekaan-, ekonomis liberalisme dan politik liberalisme itulah induk dari parlementaire democratie, dapur dimana parlementaire democratie diracik. Oleh karena itu demokrasi parlementer merupakan demokrasi yang borjuis pula.

-Bung Karno. Di Bawah Bendera Revolusi-

No comments:

Post a Comment