RAPIMNAS REPDEM

Tuesday, June 28, 2011

PANCASILA RUMAH BERSAMA

Di muka Kongres Amerika Serikat, dalam kunjungan pertamanya ke negeri ini (16 Mei-3 Juni 1956), Bung Karno dengan kepercayaan diri yang tinggi berpidato menguraikan Pancasila. Setiap sila disebutkan, hadirin bertepuk riuh diakhiri dengan standing ovation yang panjang. Tampak di sana, betapapun rumusan Pancasila itu digali dari bumi Indonesia sendiri, kandungan nilainya bisa diterima secara universal. 


Keberanian Bung Karno mengkampanyekan Pancasila pada dunia itu kembali disampaikan dalam pidatonya di depan PBB, 30 September 1960, yang berjudul “To Build the World Anew”. Ia menyangkal pendapat seorang filosof Inggris, Bertrand Russel, yang membagi dunia ke dalam dua poros ideologis. “Maafkan, Lord Russell. Saya kira tuan melupakan adanya lebih daripada seribu juta rakyat, rakyat Asia dan Afrika, dan mungkin pula rakyat-rakyat Amerika Latin, yang tidak menganut ajaran Manifesto Komunis ataupun Declaration of Independence.” Selanjutnya ia katakan bahwa Indonesia tidak dipimpin oleh kedua paham itu; tidak mengikuti konsep liberal maupun komunis. “Dari pengalaman kami sendiri dan dari sejarah kami sendiri tumbuhlah sesuatu yang lain, sesuatu yang jauh lebih sesuai, sesuatu yang jauh lebih cocok.” Lantas ia simpulkan, “Sesuatu itu kami namakan Pancasila. Gagasan-gagasan dan cita-cita itu, sudah terkandung dalam bangsa kami. Telah timbul dalam bangsa kami selama dua ribu tahun peradaban kami dan selama berabad-abad kejayaan bangsa, sebelum imperialisme menenggelamkan kami pada suatu saat kelemahan nasional.” Russel mengomentari pidato Bung Karno itu dalam suatu harian di Inggris dengan menyatakan bahwa Pancasila merupakan sintesis kreatif dari ideologi dunia dan menyebut Soekarno sebagai Great Thinker in the East. (Achdiat K. Mihardja (2005: 79).

Pancasila sebagai Jatidiri Bangsa
Jalan tengah Pancasila itu bukanlah pilihan oportunis yang timbul dari lemahnya kepercayaan diri, melainkan pancaran dari karakter keindonesiaan. Bung Karno menyatakan, “Tidak ada dua bangsa yang cara berjoangnya sama. Tiap-tiap bangsa mempunyai cara berjoang sendiri, mempunyai karakteristik sendiri. Oleh karena pada hakekatnya bangsa sebagai individu mampunyai keperibadian sendiri. Keperibadiaan yang terwujud dalam pelbagai hal, dalam kebudayaannya, dalam perekonomiannya, dalam wataknya dan lain-lain sebagainya. Karakter keindonesiaan itu pertama-tama tercetak karena pengaruh ekosistemnya. Sesuai dengan karakteristik lingkungan alamnya, sebagai negeri lautan yang ditaburi pulau-pulau, karakter keindonesiaan juga merefleksikan sifat lautan.  Sifat lautan adalah menyerap dan membersihkan; menyerap tanpa mengotori lingkungannya. Sifat lautan juga dalam keluasannya mampu menampung segala keragaman jenis dan ukuran.Sebagai “negara kepulauan” terbesar  di dunia, yang membujur di titik strategis persilangan antarbenua dan antarsamudera, dengan daya tarik kekayaan sumberdaya yang berlimpah, Indonesia sejak lama menjadi titik-temu penjelajahan bahari yang membawa berbagai arus peradaban. Maka, jadilah Indonesia sebagai tamansari peradaban dunia dengan mental penduduknya yang berjiwa kosmopolitan.


Karakter keindonesiaan juga merefleksikan sifat tanahnya yang subur, terutama akibat debu muntahan deretan pegunungan vulkanik. Tanah yang subur, memudahkan segala hal yang ditanam, sejauh sesuai dengan sifat tanahnya, untuk tumbuh. Seturut dengan itu, karakter keindonesiaan adalah kesanggupannya untuk menerima dan menumbuhkan. Di sini, apapun budaya dan ideologi yang masuk, sejauh dapat dicerna oleh sistem sosial dan tata nilai setempat, dapat berkembang.   Ethos pertanian masyarakat Nusantara bersifat religius dan gotong-royong, dalam rangka penggarapan lahan bersama. Sifat religius dan sensitivitas kekeluargaan juga memijarkan daya-daya etis dan estetis yang kuat. Maka, jadilah Nusantara sebagai pusat persemaian dan penyerbukan silang budaya, yang mengembangkan berbagai corak kebudayaaan yang lebih banyak dari kawasan Asia manapun (Oppenheimer, 2010).


Penindasan ekonomi-politik oleh kolonialisme-kapitalisme memang banyak menggerus sifat-sifat kemakmuran, kosmopolitan, religius, toleran dan kekeluargaan dari tanah-air ini. Di sisi lain, kolonialisme-kapitalisme juga mengandung kontradiksi-kontradiksi internalnya tersendiri yang membawa unsur-unsur emansipasi baru, seperti humanisme, perikebangsaan, demokrasi dan keadilan, yang dapat memperkuat karakter keindonesiaan. Persenyawaan antara anasir karakter asal yang mengendap laten dalam jiwa penduduk dan visi emansipasi baru itu diidealisasikan oleh para pendiri bangsa sebagai sumber jatidiri, falsafah dasar dan pandangan hidup bersama.


Oleh karena itu, kategorisasi yang bersifat saling mengucilkan antara “golongan kebangsaan” dan “golongan Islam”, dengan identifikasi turunannya bahwa yang satu disebut pro-Pancasila dan yang lain kontra-Pancasila, sesungguhnya merupakan keserampangan. Dalam kenyataannya, baik anggota golongan kebangsaan maupun golongan Islam tidaklah monolitik. Lebih dari itu, secara substantif, kedua golongan memiliki kesepahaman yang luas. Terbukti, para pengusul untuk setiap sila dalam BPUPKI sama-sama datang baik dari “golongan kebangsaan” maupun “golongan Islam”.


Apa yang mereka idealisasikan sebagai dasar kehidupan bersama itu disarikan oleh Bung Karno pada pidato 1 Juni 1945 ke dalam lima sila, yang disebutnya sebagai “dasar falsafah” (philosofische grondslag) atau “pandangan dunia” (weltanschauung) negara/bangsa Indonesia. Kelima sila, menurutnya, merupakan unsur “meja statis” yang menyatukan bangsa Indonesia, sekaligus Leitstar (bintang pimpinan) dinamis, yang memandu perkembangan bangsa ke depan. Sungguh pun Soekarno telah mengajukan lima sila dari dasar negara, ia juga menawarkan kemungkinan lain, sekiranya ada yang tidak menyukai bilangan lima, sekaligus juga cara beliau menunjukkan dasar dari segala dasar kelima sila tersebut. Alternatifnya bisa diperas menjadi Tri Sila bahkan bisa dikerucutkan lagi menjadi Eka Sila: Atau barangkali ada saudara-saudara yang tidak suka bilangan lima itu? Saya boleh peras, sehingga tinggal 3 saja. Saudara-saudara tanya kepada saya, apakah ‘perasan’ yang tiga itu? Berpuluh-puluh tahun sudah saya pikirkan dia, ialah dasar-dasarnya Indonesia Merdeka, Weltanschauung kita. Dua dasar yang pertama, kebangsaan dan internasionalisme, kebangsaan dan perikemanusiaan, saya peras menjadi satu: itulah yang dahulu saya namakan socio-nationalisme. Dan demokrasi yang bukan demokrasi Barat, tapi politiek-economische democratie, yaitu politieke-democratie dengan sociale rechtvaardigheid: Inilah yang dulu saya namakan socio-democratie. Tinggal lagi ke-Tuhanan yang menghormati satu sama lain.


Jadi yang asalnya lima itu telah menjadi tiga: socio-nationalisme, socio-democratie, dan ke-Tuhanan. Kalau tuan senang kepada simbolik tiga, ambillah yang tiga ini. Tetapi barangkali tidak semua tuan-tuan senang kepada Tri Sila ini, dan minta satu, satu dasar saja? Baiklah, saya jadikan satu, saya kumpulkan lagi menjadi satu. Apakah yang yang satu itu? Sebagai tadi telah saya katakan: kita mendirikan Negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia—semua buat semuau tuan senang kepada simbolik tiga, ambillah yang tiga ini. Tetapi barangkali tidak semua tuan-tuan senang kepada Tri Sila ini, dan minta satu, satu dasar saja? Baiklah, saya jadikan satu, saya kumpulkan lagi menjadi satu. Apakah yang yang satu itu? Sebagai tadi telah saya katakan: kita mendirikan Negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia—semua buat semua! Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan ‘gotong-royong’. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong-royong. Dengan kata lain, dasar dari semua sila Pancasila adalah gotong-royong. Maknanya adalah: Prinsip ketuhanannya harus berjiwa gotong-royong (ketuhanan yang berkebudayaan, yang lapang dan toleran); bukan ketuhanan yang saling menyerang dan mengucilkan. Prinsip intenasionalismenya harus berjiwa gotong-royong (yang berprikemanusian dan berprikeadilan); bukan internasionalisme yang menjajah dan eksploitatif. Prinsip kebangsaannya harus berjiwa gotong-royong (mampu mengembangkan persatuan dari aneka perbedaan, “bhineka tunggal ika”); bukan kebangsaan yang meniadakan perbedaan atau menolak persatuan. Prinsip demokrasinya harus berjiwa gotong-royong (mengembangkan musyawarah mufakat); bukan demokrasi yang didikte oleh suara mayoritas (mayorokrasi) atau minoritas elit penguasa-pemodal (minorokrasi). Prinsip kesejahteraannya harus berjiwa gotong-royong (mengembangkan partisipasi dan emansipasi di bidang ekonomi dengan semangat kekeluargaan); bukan visi kesejahteraan yang berbasis individualisme-kapitalisme; bukan pula yang mengekang kebebasan individu seperti dalam sistem etatisme.


Dengan semangat dasar kelima sila tersebut, negara/bangsa Indonesia memiliki pandangan dunia yang begitu visioner dan tahan banting. Prinsip-prinsip dalam Pancasila mampu mengantisipasi dan merekonsiliasikan antara paham kenegaraan radikalisme sekularis dan radikalisme keagamaan, antara paham kebangsaan homogenis dengan tribalisme atavisitis, antara kebangsaan yang chauvinis dengan globalisme triumphalis, antara pemerintahan autokratik dengan demokrasi pasar-individualis, antara ekonomi etatisme dengan kapitalisme predatoris. Diperlukan puluhan tahun sejak perang dunia kedua bagi bangsa-bangsa lain untuk memasuki jalan tengah keemasan itu. Adapun bangsa Indonesia telah meletakkannya di titik awal berdirinya Republik. Sayang, masalah bangsa ini memang kerap pandai memulai namun gagal memelihara dan mengakhiri. Tatkala bangsa-bangsa lain mulai mengengok warisan pemikiran terbaik bangsa ini, bangsa Indonesia sendiri mulai mengabaikannya.


Krisis Mentalitas
Tiga belas tahun setelah Reformasi digulirkan, perkembangan demokrasi di Indonesia belum memberi manfaat besar bagi perbaikan kehidupan bangsa. Bahkan banyak orang  mulai sangsi dengan janji demokrasi di negeri ini. Dari penjelajahan hampir setiap pekan mengarungi cakrawala Nusantara, dari jarak dekat dengan bau keringat dan kaki kebangsaan, dengan mudah kupergoki retakan-retakan dari arsitektur kenegaraan kita. Tiga belas tahun setelah reformasi demokratis digulirkan, Indonesia adalah tenunan yang robek, karena simpul yang rapuh. Dari Danau Sentani di Papua hingga Danau Toba di Sumatera Utara, kebeningan air kearifan memang masih tersisa, tetapi polusi yang ditimbulkan oleh limbah politik kian mendekat mengancam ketahanan ekosistem kebudayaan. Tentu merisaukan, karena Indonesia adalah pertautan politik dari keragaman budaya. Jika politik sebagai simpul pertautan itu rapuh, kekayaan warisan budaya Nusantara itu tidak bisa diikat menjadi sapu lidi yang kuat, tetapi sekadar serpihan lidi yang berserak, mudah patah.


Indonesia lebih merupakan state-nation ketimbang nation-state. Dasar mengada dari bangsa ini tidak lain karena eksistensi negara. Bangsa Indonesia dipersatukan bukan karena kesamaan budaya, agama, dan etnisitas, melainkan karena adanya negara persatuan, yang menampung cita-cita politik bersama, mengatasi segala paham golongan dan perseorangan. Jika negara merupakan faktor pemersatu bangsa, negara pula yang menjadi faktor pemecah-belah bangsa. Dengan demikian, lebih dari negara mana pun di muka bumi ini, politik kenegaraan bagi Indonesia sangatlah vital untuk menjaga keutuhan dan keberlangsungan bangsa.


Arsitektur politik kenegaraan yang secara tepat-guna sanggup mempertautkan kemajemukan Indonesia sebagai nations-in-nation adalah desain negara kekeluargaan. Secara bertepatan, pendiri bangsa, dengan keragaman garis ideologisnya, memiliki pertautan dalam idealisasi terhadap nilai kekeluargaan. Konsepsi negara kekeluargaan ini tidaklah bercorak tunggal, tetapi adalah perpaduan dari banyak unsur: paham kesatuan kawula dan gusti dalam konsepsi tradisi (khususnya Jawa), konsepsi kekeluargaan Hakkoo Itjiu Jepang, perspektif Islam tentang ketidakterpisahan individu dan masyarakat (fardu ain dan fardu kifayah), perspektif sosialis kasih Kristiani, populisme radikal ala Soekarno maupun demokrasi sosial ala Hatta, dan terlebih lagi paham integralisme konservatif ala Soepomo. Dengan demikian, semangat kekeluargaan merupakan cetakan dasar (archetype) dan karakter ideal keindonesiaan. Ia bukan saja dasar statis yang mempersatukan, melainkan juga dasar dinamis yang menuntun ke arah mana bangsa ini harus berjalan. Dalam istilah Soekarno, kekeluargaan adalah ”meja statis” dan ”leitstar dinamis”, yang mempersatukan dan memandukan.


Oleh karena kekeluargaan merupakan jantung keindonesiaan, kehilangan semangat kekeluargaan dalam kehidupan kenegaraan dan kebangsaan Indonesia merupakan kehilangan segala-galanya. Kehilangan yang membuat biduk perahu kebangsaan limbung, terombang-ambing gelombang perubahan tanpa jangkar dan arah-tujuan. Jika demokrasi Indonesia kian diragukan kemaslahatannya, tak lain karena perkembangan demokrasi itu cenderung tercerabut dari jiwa kekeluargaan. Peraturan daerah berbasis eksklusivisme keagamaan bersitumbuh menikam jiwa ketuhanan yang berkebudayaan; lembaga-lembaga finansial dan korporasi internasional dibiarkan mengintervensi perundang-undangan dengan mengorbankan kemanusiaan yang adil dan beradab; tribalisme, nepotisme, dan pemujaan putra daerah menguat dalam pemilu kepala daerah melemahkan persatuan kebangsaan; anggota parlemen bergotong royong menjarah keuangan rakyat, memperjuangan ”dana aspirasi” seraya mengabaikan aspirasi rakyat, melupakan kegotongroyongan berdasarkan hikmah kebijaksanaan; ekspansi neoliberalisme, kesenjangan sosial dan tindak korupsi melebar menjegal keadilan sosial.


Demokrasi yang dijalankan justru memutar jarum jam ke belakang, membawa kembali rakyat pada periode prapolitik, saat terkungkung dalam hukum besi sejarah survival of the fittest dan idol of the tribe. Ada jarak yang lebar antara voices dan choices; antara apa yang diargumentasikan dengan pilihan institusi dan kebijakan yang diambil. Demokrasi yang diidealkan sebagai wahana untuk memperjuangkan kesetaraan dan persaudaraan lewat pengorganisasian kepentingan kolektif justru menjadi instrumen bagi kepentingan privat.
Distorsi ini terjadi karena orang-orang bekerja dari politik, bukan untuk politik. Di sinilah pintu masuk bagi persekongkolan antara pengusaha hitam dan politisi hitam dalam proses institutional crafting dan legal drafting. Suatu penyanderaan demokrasi yang mengarah pada legalisasi kejahatan. Tiba-tiba saja nubuat Pramoedya Ananta Toer dalam Rumah Kaca menjadi kenyataan, ”Akan ada permainan politik oleh orang-orang kriminal dan permainan kriminal oleh orang-orang politik.


Demokrasi yang dikembangkan tanpa mempertimbangkan sistem pencernaan kebudayaan dan karakter keindonesiaan, seperti biduk yang limbung. Dalam satu dekade terakhir, kita seakan-akan telah mengalami begitu banyak perubahan. Namun, perubahan yang terjadi tidak membawa kita ke mana pun. ”Change alone is unchanging,” ujar Heraclitus. Krisis yang melanda negara ini begitu luas cakupannya dan begitu dalam penetrasinya, tetapi yang dijumpai adalah mentalitas para pemimpin yang sempit dan cetek. Dalam kesempitan dan kedangkalan mentalitas pemimpin itulah jangkauan kekuatan luar yang memiliki keluasan dan kedalaman mendikte agenda perubahan, mulai dari amandemen konstitusi, draf perundang-undangan, rekayasa institusi, hingga formasi jabatan.


Perbudakan para pemimpin, karena kesempitan dan kedangkalan mentalitasnya, merupakan sumber dari segala sumber korupsi. Seperti digambarkan Machiavelli dalam Hikayat Florentin, ada beberapa sebab korupsi merajalela. Pertama, para pemuka negeri diperbudak negeri lain hingga negara tidak mampu membuat aturan secara leluasa untuk mengelola urusan sendiri.
Kedua, pemangku kekuasaan dengan kekayaan berlebih nan tak bersih, yang melalui pundi-pundi keuangannya, bisa menundukkan moral publik di bawah pragmatisme sempit. Ketiga, kaum gentiluomini (semacam elite negeri) yang hidup dari popularitas dan berpenghasilan tinggi dengan sedikit kerja. Mereka tidak hanya merusak negeri dengan polah dan gaya hidupnya, tetapi juga memiliki pengikut atau penggemar membeo yang membuat kebobrokan secara massal.


Keempat, pemahaman agama ”berdasarkan kemalasan dan bukan kesalehan”. Interpretasi agama lebih menekankan aspek ritual-formal daripada esensi ajaran. Memuja ”insan pembual daripada insan pekerja”. Memperindah tempat ibadah daripada membebaskan kaum duafa. Pemahaman seperti ini membuat orang ”tidak lagi beramal saleh, tetapi menjadi mangsa empuk orang kuat”. Di republik korup dan jahil, persahabatan madani sejati hancur. Setiap warga berlomba mengkhianati negeri dan sesamanya; rasa saling percaya lenyap karena sumpah dan keimanan disalahgunakan; hukum dan institusi lumpuh sehingga tidak mampu meredam perluasan korupsi; ketamakan dan hasrat meraih kehormatan rendah merajalela; kebaikan dimusuhi; kejahatan diagungkan.


Tibalah kita pada fase sejarah yang murung. Di negeri ini problem etis tidak lagi muncul dalam memilih antara yang putih dan yang hitam, tetapi dalam memilih di antara yang sama-sama hitam. Dalam kisruh pemilihan ketua umum PSSI, pengajuan dan penolakan hak angket mafia pajak, serta partai mana yang masuk dan keluar dari kabinet, kewarasan nalar publik dihadapkan pada pilihan yang sulit untuk berpihak kepada siapa. Ini karena setiap pihak mengandung unsur dan motif jahatnya masing-masing. Dalam situasi seperti itu, transformasi kehidupan kenegaraan tidak bisa disandarkan pada perubahan tambal sulam pada tingkat prosedur dan perundang-undangan. Transformasi substantif memerlukan suatu revolusi mental-kebudayaan. Revolusi mental-kebudayaan itu bisa dilakukan dengan menghidupkan kembali karakter (kedalaman dan keluasan) para pendiri bangsa dan semangat dasar pendirian negara. Seperti diungkapkan Bung Karno dalam pidato 1 Juni, ”Kita mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, melainkan Indonesia buat Indonesia—semua buat semua! Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan ’gotong royong’. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong royong!


Kehilangan terbesar bangsa ini bukanlah kemerosotan pertumbuhan ekonomi atau tak ada tokoh menonjol, melainkan kehilangan harga diri karena diabaikannya semangat dasar kehidupan bernegara. Mengutip Juvenalis, ”Aib terbesar ketika kamu lebih mementingkan kehidupan ketimbang harga diri, sementara demi kehidupan itu sendiri engkau telah kehilangan prinsip-prinsip kehidupan.


Kembali ke Rumah Pancasila
Secara singkat dapat dikatakan bahwa sebagian besar ketidakmampuan kita memecahkan masalah hari ini disebabkan ketidakmampuan kita merawat warisan terbaik dari masa lalu. Adapun warisan termahal para pendiri bangsa yang merosot saat ini adalah karakter. Ketika suatu golongan dibiarkan dicincang di altar kebencian golongan lain, dan ketika elit negeri berpesta pora memakan bangkai daging rakyatnya sendiri kita mengalami amnesia yang parah tentang makna kemerdekaan. Bung Karno berkata, “Aku, ya Tuhan, telah Engkau beri kesempatan melihat penderitaan-penderitaan rakyat untuk mendatangkan negara Indonesia yang merdeka itu. Aku melihat pemimpin-pemimpin, ribuan, puluhan ribu, meringkuk di dalam penjara. Aku melihat rakyat menderita. Aku melihat orang-orang mengorbankan ia punya harta benda untuk tercapainya cita-cita ini. Aku melihat orang-orang didrel mati. Aku melihat orang naik tiang penggantungan. Bahkan aku pernah menerima surat daripada seorang Indonesia yang keesokan harinya akan naik tiang penggantungan. Dalam surat itu dia mengamanatkan kepada saya sebagai berikut: ‘Bung Karno, besok aku akan meninggalkan dunia ini. Lanjutkanlah perjuangan kita ini’.


Empati terhadap sejarah pengorbanan itulah yang membuat para pendiri bangsa memiliki jiwa kepahlawanan. Kenanglah heroisme para anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia saat berpidato dengan menyerukan kemerdekaan dengan dasar negara yang diidealisasikan di tengah opsir-opsir bala tentara Jepang bersenjatakan bayonet. Bung Karno mengakui, “Saya sadar, Saudara-saudara, bahwa ucapan yang hendak saya ucapkan mungkin adalah satu ucapan yang berbahaya bagi diriku, sebab ini adalah zaman perang, kita pada waktu itu di bawah kekuasaan imperialis Jepang, tetapi juga pada waktu itu, Saudara-saudara, aku sadar akan kewajiban seorang pemimpin. Kerjakanlah tugasmu, kerjakanlah kewajibanmu, tanpa menghitung-hitung akan akibatnya.” Ketika para anggota DPR lebih sibuk mempermahal ruang kerja seraya mempermurah nilai keseriusan penyusunan rancangan undang-undang, kita mengalami kemerosotan begitu dalam dari jiwa pertanggungjawaban. Kenanglah rasa tanggung jawab para pendiri bangsa! Dalam membincangkan hukum dasar, Mohammad Yamin mengingatkan, “Saya hanya minta perhatian betul-betul karena yang kita bicarakan ini hak rakyat. Kalau ini tidak terang dalam hukum dasar, maka ada kekhilafan daripada grondwet; grondwettelijke fout, kesalahan perumusan Undang-Undang Dasar, besar sekali dosanya buat rakyat yang menanti-nantikan hak daripada republik. Akutnya krisis yang kita hadapi mengisyaratkan, untuk memulihkannya perlu lebih dari sekadar politics as usual. Kita perlu visi politik baru yang mempertimbangkan kenyataan bahwa krisis nasional itu berakar jauh pada krisis moralitas dan etos yang melanda jiwa bangsa. Usaha “penyembuhan” perlu dilakukan dengan memperkuat kembali fundamen etis dan karakter bangsa berdasarkan falsafah dan pandangan bangsa Indonesia.

Ibarat pohon, sejarah perkembangan bangsa yang sehat tidak bisa tercerabut dari tanah dan akar kesejarahannya, ekosistem sosial-budaya, sistem pemaknaan, dan pandangan dunianya tersendiri. Pancasila dirumuskan oleh pendiri


Akibat keteledoran, ketidaktaatan, dan penyelewengan atas nilai-nilai Pancasila, terutama oleh penyelenggara negara, Pancasila sebagai bintang pimpinan itu pun redup tertutup kabut; menimbulkan kegelapan dalam rumah kebangsaan. Lantas anak-anak negeri berusaha mencari kunci jawaban atas persoalan negerinya di luar “rumah”. Seseorang bertanya, “Apa gerangan yang kalian cari?” Anak-anak negeri itu pun menjawab, “kunci rumah”. “Memangnya di mana hilangnya kunci itu?” “Di dalam rumah kami sendiri”. “Mengapa kalian cari di luar rumahmu?” “Karena rumah kami gelap”. Kunci jawaban atas krisis kebangsaan itu sesungguhnya bisa ditemukan dari dasar falsafah dan pandangan hidup Indonesia sendiri. Yang diperlukan adalah mengikuti cara Bung Karno, menggali kembali mutiara terpendam itu. Marilah kembali ke rumah Pancasila!




[1] Yudi Latif adalah penulis buku Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila.

Thursday, June 23, 2011

MANIFESTO POLITIK REPDEM

MANIFESTO POLITIK
RELAWAN PERJUANGAN DEMOKRASI
(REPDEM)
“Sumber kekuatan kita bukan hanya kekayaan alam yang melimpah, jumlah rakyat yang berpuluh-puluh juta, letak geografis yang strategis, ilmu dan teknik yang sedang dipertumbuhkan, tetapi juga adalah semangat dan jiwa bangsa kita.” (Bung Karno)

PELOPOR ADALAH GARDA TERDEPAN. Tugas Pelopor adalah memutar roda gerak sejarah perubahan tanpa menghitung-hitung resiko yang mungkin dialami. Pelopor memberikan contoh keteladanan prilaku, sikap, dan tindakan atas; ideologi, perjuangan, dan kepemimpinan. Sebagai Pelopor, kita harus berdiri di depan, dan berani mengambil tanggung jawab, betapapun beratnya persoalan yang kita hadapi sebagai bangsa. Inilah komitmen perjuangan kita.

Sejarah panjang Nusantara adalah sejarah panjang penindasan.  Bangsa Indonesia adalah bangsa yang telah lama mengalami penderitaan akibat kolonialisme, dari mulai jaman Portugis, Inggris, Belanda hingga Jepang. Bahkan setelah merdeka pun, neokolonialisme-imperialisme masih menggedor pintu kemerdekaan Indonesia dan berusaha meruntuhkan pilar-pilar jembatan emas kemerdekaan.

Sebagai Negara kepulauan terbesar di dunia, yang membujur di titik strategis persilangan antarbenua dan antarsamudera, dengan daya tarik kekayaan sumber daya yang berlimpah. Kekayaan alam bumi Nusantara menjadi daya tarik oleh bangsa-bangsa eropa untuk menaklukkan dan menguasai melalui politik kolonialisme dan imperialisme.  Sejak ratusan tahun lalu telah menggoda berbagai bangsa di belahan bumi lain untuk menguasai negeri makmur loh jinawi ini.
Monopoli perdagangan rempah-rempah oleh VOC, sistem tanam paksa oleh pemerintah kolonial Belanda dan kerja paksa oleh kolonialisme Jepang mendatangkan penderitaan yang sangat karena rakyat harus menyerahkan seluruh tanah dan tenaganya untuk tanam paksa dan kerja paksa.

Kolonialisme dan imperialisme melahirkan perlawanan rakyat. Darimulai perlawanan yang bersifat lokal kedaerahan hingga pergerakan modern yang dipelopori  oleh kaum terdidik Indonesia sebagi cikal bakal lahirnya pergerakan nasional yang mengikutsertakan seluruh rakyat Indonesia. Latar belakang timbulnya pergerakan nasional adalah rasa senasib dan sepenanggungan, penderitaan rakyat akibat penjajahan.

Pembentukan Boedi Oetomo, ketika kebangkitan nasional pertama kali ditampilkan dalam bentuk organisasi, serta Sumpah Pemuda, ketika para pemuda menyatakan diri bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu Indonesia.

Gerakan rakyat yang tampil dalam bentuk-bentuk seperti surat kabar dan jurnal, rapat dan pertemuan, serikat buruh dan pemogokan, organisasi dan partai, novel, nyanyian, teater, dan pemberontakan, merupakan fenomena yang paling mencolok bagi orang Belanda untuk melihat kebangkitan “Bumiputra” bergerak mencari bentuk untuk menampilkan kesadaran politik yang baru, menggerakkan pikiran dan gagasan, dan menghadapi kenyataan di Hindia dalam dunia dan zaman yang mereka rasakan bergerak. Sebagai gerakan dimana sebuah bangsa yang belum bernama sedang mencari namanya, Indonesia, dan cita-cita nasionalnya, Indonesia Merdeka.

Kemerdekaan Indonesia sebagai Negara dan bangsa yang berdaulat diproklamirkan 17 Agustus 1945. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tahun 1945 bukanlah kebetulan ataupun karena belas kasih. Kemerdekaan kita diuji secara politik dan perang gerilya melalui gelombang pasang Revolusi Indonesia kurun waktu 1945-1949, dekolonisasi Indonesia dipercepat oleh apa yang disebut Indonesianisasi dan nasionalisasi pada dekade 1950-an. Arah dekolonisasi ditujukan untuk lenyapnya struktur ekonomi politik kolonial dan kultur masyarakat kolonial di dalam konteks negara dan bangsa yang baru merdeka, yakni Indonesia.
Sejak awal mendirikan Republik Indonesia, para pendiri bangsa telah menyadari benar bahwa bangsa Indonesia adalah bagian dari seluruh umat manusia di muka bumi, dan juga adalah bagian dari bangsa-bangsa di dunia yang satu sama lainnya saling berhubungan, saling ketergantungan dan saling membutuhkan. Imperialisme dan neokolonialisme (nekolim) hadir mendistorsi bentuk hubungan yang ideal diantara bangsa-bangsa tersebut.

Setelah Revolusi Agustus 1945, Tanah dan Air Indonesia masih digenangi praktek-praktek ekonomi politik yang merupakan lanjutan sekaligus perwakilan dari kolonialisme-imperialisme. Bangsa Indonesia mengalami keterasingan dari tanah air kesadarannya sebagai akibat niscaya dari penundukan ekonomi politik Indonesia kepada kapitalisme internasional, sejak zaman monopoli perdagangan VOC sampai era perdagangan bebas sekarang ini.
Saat ini, kita berhadapan dengan situasi yang memprihatinkan. Industri dalam negeri tertekan oleh membanjirnya produk impor dari sejumlah negara. Sejak lima tahun lalu, surplus neraca perdagangan Indonesia menurun, perbankan nasional dikuasai asing, dan secara dramatis terjadi setahun terakhir. Jika tren ini terus terjadi, satu demi satu industri nasional akan gulung tikar dan bangkrut.

Demikian juga perusahaan asing banyak didirikan di Indonesia karena upah buruh yang sangat rendah di samping kebijakan perburuhan yang menguntungkan imperialis sehingga mereka bisa meraup keuntungan yang super besar. Indonesia dengan jumlah penduduk mencapai 230 juta merupakan pangsa pasar yang sangat menjanjikan bagi produk-produk negara imperialis. Kenyataan tersebutlah yang menyebabkan mengapa sampai hari ini industri nasional di Indonesia tidak pernah mengalami perkembangan dan kemajuan. Karena memang tidak diijinkan oleh kekuatan imperialisme. Karena dengan tumbuh berkembangnya industri nasional, maka imperialisme akan kehilangan suplai bahan baku, tenaga kerja murah dan pasar. Ini yang tidak mereka kehendaki.
Seperti yang dikatakankan oleh Bung Karno, bahwa kolonialisme dan imperialisme memposisikan Indonesia sebagai pemasok bahan mentah bagi Negara-negara industri maju. Indonesia sebagai pasar produk Negara-negara industri maju. Indonesia sebagai tempat untuk memutar kelebihan kapital yang terdapat di Negara-negara industri maju.
Imperialisme adalah ular naga yang kepalanya ditaruh di wilayah negara-negara dunia ketiga untuk menyedot kekayaan alam dan sekaligus menjadikannya pasar empuk, sedangkan tubuh dan ekor naga tersebut berada di negara-negara industri maju.

Penjajahan atau imperialisme inilah yang terus bertransformasi. Ia berubah-ubah, menyesuaikan diri: dari imperialisme kecil ke imperialisme raksasa, dari imperialisme jaman dulu ke imperialisme jaman sekarang, dari imperialisme kuno menjadi imperialisme modern. Imperialisme ini dilahirkan dari rahim kapitalisme, dan imperialisme modern jelas lahir dari rahim kapitalisme modern. Jika dulu kapitalisme kuno hanya berpraktek dengan mode produksi yang menindas hanya dalam skala kecil, maka kapitalisme modern saat ini berpraktek dengan mode produksi yang sangat mengerikan. Lihatlah betapa masifnya jutaan hektar tanah yang dikuasai untuk perkebunan, betapa banyak dan raksasanya pabrik-pabrik dengan asap mengepul di udara milik investor, lihatlah gedung-gedung pelayan jasa perbankan, asuransi, telekomunikasi yang mencakar langit. Lihatlah keangkuhan perusahaan tambang yang memiskinkan rakyat dan merusak lingkungan tempat mereka beroperasi. Penjajahan gaya baru inilah disebabkan kebijakan dan praktek neoliberalisme, yang oleh Soekarno dinyatakan sebagai neokolonialisme-imperialisme (nekolim).

Jika dulu penjajahan menggunakan pasukan bersenjata yang secara langsung merepresi rakyat, penjajahan gaya baru menyusup diam-diam dan menindas secara struktural dalam bentuk kebijakan neoliberal. Jika dulu onderneming-onderneming kolonialisme Belanda merangsek lahan rakyat, pabrik-pabrik perkebunan kolonial, memberangus hak-hak kemerdekaan, hak-hak berkumpul, hak-hak berserikat, ditekan habis-habisan oleh penjajah maka sekarang belum tentu seperti itu. Dulu penjajahan langsung menginvasi daerah-daerah bangsa asli benua Asia, Amerika dan Afrika. Kaum penjajah ini kemudian mengaduk-aduk bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, lalu menghisapnya dan hasilnya dialirkan langsung ke negara penjajah. Sekarang penjajahannya sungguh berbeda, karena perkebunan-perkebunan raksasa tidak masuk dengan cara paksa. Berbagai bentuk eksploitasi dan penjajahan baru kini dilegalkan melalui berbagai produk hukum dan perundang-undangan.
 Penjajahan gaya baru tidak terang-terangan dalam bentuk lama yang menggunakan agresi pendudukan langsung, ia tidak dirasakan oleh rakyat tetapi secara ekonomi-politik, sosial dan budaya mempengaruhi pola pikir dan segala sendi kehidupan kita sehari-hari.

Kini, akar budaya bangsa kita telah terkikis oleh penetrasi budaya asing. Bukan juga berarti budaya asing ini sesungguhnya jahat semua, namun neokolonialisme-imperialisme juga merasuki rakyat melalui jalan budaya. Lihat betapa kita diatur untuk terus berkonsumsi, bertindak individual, bahkan melupakan warisan luhur budaya nenek moyang kita. Budaya agraris di negeri gemah ripah loh jinawi Indonesia misalnya, terkikis dengan budaya industrial yang bercirikan kapitalistik-neoliberal ala Barat. Gotong-royong yang merupakan salah satu ciri khas bangsa Indonesia, juga sekarang makin rapuh diterpa hegemoni budaya individualistik yang cenderung liberal. Sementara, berbagai aspek budaya mulai dari kesenian, pendidikan, bahasa dan pola hidup sekarang banyak dipengaruhi oleh hegemoni Barat—padahal belum tentu sesuai dengan kepribadian bangsa.

Kehilangan terbesar bangsa ini bukan sekedar kemerosotan pertumbuhan ekonomi saja. Melainkan kehilangan harga diri karena diabaikannya semangat dasar kehidupan bernegara. Ketidakmampuan kita memecahkan masalah hari ini disebabkan ketidakmampuan kita merawat warisan terbaik dari masa lalu. Adapun warisan termahal para pendiri bangsa yang merosot saat ini adalah Karakter.

Tidak ada bangsa yang lekas menjadi sempurna, menjadi bangsa yang besar tanpa melalui suatu fase perjuangan yang hebat. Kemajuan negeri China dihasilkan oleh perjuangan besar rakyat dan pemimpin besar bangsa China Mao Tzhe Tung menggelorakan revolusi di China. Kebesaran Negara bangsa Amerika Serikat tidak lepas dari ingatan masa lalu sejarah perjuangan bapak bangsa Amerika Serikat George Washington. Demikian pula dengan kebangkitan Negara-negara Amerika Latin seperti Venezuela yang terinspirasi dengan Bapak Bangsa Venezuela Simon Bolivar yang dijadikan symbol pergerakan rakyat dan pergerakan nasional Venezuela bangkit melawan bentuk-bentuk penjajahan baru (neokolonialisme-imperialisme) melalui gerakan Bolivarian.  
Indonesia pernah punya pemimpin besar Bung Karno dengan cita-cita besarnya, bukan saja untuk kemakmuran bangsa Indonesia sendiri, tetapi kemakmuran seluruh umat manusia di dunia, yaitu dengan perjuangan penghapusan penghisapan manusia atas manusia (exploitation de I’homme par I’homme) dan penindasan bangsa atas bangsa (exploitation de nation par nation).
“Tetapi kecuali Pancasila adalah satu weltanschauung, satu dasar falsafah, Pancasila adalah satu alat mempersatu, yang saya yakin seyakin-yakinnya Bangsa Indonesia dari Sabang sampai ke Merauke hanyalah dapat bersatu padu diatas dasar Pancasila itu. Dan bukan saja alat mempersatu untuk diatasnya kita letakkan Negara Republik Indonesia, tetapi juga pada hakekatnya satu alat mempersatu dalam perjoangan kita melenyapkan segala penyakit yang telah kita lawan berpuluh-puluh tahun yaitu penyakit terutama sekali, Imperialisme. Perjoangan suatu bangsa, perjoangan melawan imperialisme, perjoangan mencapai kemerdekaan, perjoangan sesuatu bangsa yang membawa corak sendiri-sendiri. Tidak ada dua bangsa yang cara berjoangnya sama. Tiap-tiap bangsa mempunyai cara berjoang sendiri, mempunyai karakteristik sendiri. Oleh karena pada hakekatnya bangsa sebagai individu mempunyai kepribadian sendiri.  Kepribadian yang terwujud dalam pelbagai hal, dalam kebudayaannya, dalam perekonomiannya, dalam wataknya dan lain-lain sebagainya.” (Presiden Soekarno, 1958).

DEMOKRASI YANG DIBAJAK
Perubahan politik pasca reformasi 1998 di Indonesia, perkembangan demokrasi di Indonesia belum memberikan manfaat besar bagi perbaikan kehidupan bangsa. Bahkan banyak orang mulai sangsi dengan janji demokrasi di negeri ini.
Transisi menuju pemerintahan yang demokratis masih belum dapat menghasilkan sebuah pemerintahan yang profesional, efektif, efisien, dan kredibel. Demokrasi yang terbentuk sejauh ini, meminjam istilah Olle Tornquist hanya menghasilkan Demokrasi Kaum Penjahat, yang lebih menonjolkan kepentingan pribadi dan golongan ketimbang kepentingan rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Suatu penyanderaan demokrasi yang mengarah pada legalisasi kejahatan.

Cita-cita mulia demokrasi direduksi menjadi sebatas hal yang prosedural dan teknis. Akibatnya, demokrasi hanya diwujudkan dalam pemilu. Suara rakyat dibutuhkan dan ditambang hanya ketika pemilu datang. Setelah itu, suara rakyat ditendang dan dikhianati; kebijakan publik tidak lagi memihak rakyat, harga-harga semakin mahal, penggusuran dimana-mana, pendidikan dan kesehatan dikomersialisasikan, kemiskinan dan pengangguran tetap saja berkembang biak. Demokrasi, dalam cita-cita yang sesungguhnya, perlahan-lahan mati.

Demokrasi adalah prinsip luhur yang mengutamakan kedaulatan rakyat. Pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat merupakan perwujudannya di tingkat negara. Di negara kita, demokrasi dimengerti dalam praktek “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Musyawarah untuk mufakat merupakan warisan peradaban yang hidup beribu-ribu tahun lamanya dibumi Nusantara.
Indonesia adalah pertautan politik dari keragaman budaya. Jika politik sebagai simpul pertautan itu rapuh, kekayaan warisan budaya Nusantara itu tidak bisa diikat menjadi sapu lidi yang kuat, tetapi sekadar serpihan lidi yang berserak, mudah patah.
Politik adalah seni dan sarana kebudayaan rakyat untuk mewujudkan kedaulatan politik, keberdikarian ekonomi, dan jati-diri kebudayaan kita sebagai bangsa merdeka, membangun komitmen bersama-sama dengan rakyat menyiapkan jalan menuju kesejahteraan bagi rakyat.

SOSIO NASIONALISME – SOSIO DEMOKRASI
Pancasila adalah leitstar atau bintang pimpinan, tuntunan dinamis ke arah mana kita gerakkan rakyat, bangsa dan negara Indonesia.  Lima dasar dalam Pancasila jika diperas menjadi tiga atau Tri sila adalah Sosio-nasionalisme, Sosio-demokrasi, dan Ketuhanan. Jikalau yang lima diperas menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan “Gotong-royong”. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah Negara gotong royong (Bung Karno, 1 Juni 1945).
Sosio adalah masyarakat. Maka sosio-nasionalisme adalah nasionalisme-masyarakat dan sosio-demokrasi adalah demokrasi-masyarakat.

Sosio-nasionalisme lahir untuk mempertegas sifat nasionalisme yang harus dibentuk di Indonesia yang menjunjung tinggi perikemanusiaan. Sosio-demokrasi dengan tidak meniru cara pemerintahan demokrasi dari luar terutama dari Barat yang memiliki kepincangan dalam struktur masyarakat yakni persamaan di bidang politik namun diskriminasi di bidang ekonomi.
Oleh karena itu, nasionalisme Indonesia bukanlah sebagaimana pengertian dari nasionalisme itu sendiri yang hanya mencapai maksud dan tujuan tertentu saja (kemerdekaan), akan tetapi berusaha mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur yang sifatnya humanis tanpa ada lagi sistem yang menindas. Sosio nasionalisme adalah semangat kebangsaan yang menjunjung tinggi perikemanusiaan.

Untuk mewujudkan cita-cita tersebut, maka nasionalisme haruslah memperbaiki keadaan-keadaan dalam masyarakat hingga tidak terjadi kepincangan ataupun kesenjangan baik di bidang politik maupun di bidang ekonomi.
Sosio-demokrasi lahir karena Sosio-nasionalisme, artinya segala pengertian mengenai Sosio-nasionalisme memiliki sifat dan dasarnya menurun kepada Sosio-demokrasi. Dengan kata lain, Sosio-demokrasi pun berdiri sama tegak dengan kedua kakinya baik di bidang politik maupun di bidang ekonomi yang berusaha mewujudkan masyarakat adil dan makmur tanpa ada eksploitasi dan diskriminasi dalam masyarakat.

Sosio-demokrasi adalah demokrasi-politik dan demokrasi-ekonomi, artinya rakyat berhak ikut dalam pemerintahan ataupun parlemen dalam prinsip persamaan dan keadilan tanpa merasa khawatir akan nasibnya saat mencari rezeki di bidang ekonomi. Sosio demokrasi adalah demokrasi yang memperjuangkan keadilan soisial, yang tidak hanya memedulikan hak-hak sipil dan politik, melainkan juga hak ekonomi, “demokrasi sejati yang mencari keberesan politik dan ekonomi, keberesan negeri dan keberesan rezeki” (Bung Karno, 1932).

Dasar dari semua sila Pancasila adalah Gotong royong. Maknanya adalah: prinsip ketuhannnya harus berjiwa gotong royong (ketuhanan yang berkebudayaan, yang lapang dan toleran), bukan ketuhanan yang saling menyerang dan mengucilkan. Prinsip internasionalismenya harus berjiwa gotong royong (yang berperikemanusiaan dan berperikeadilan), bukan internasionalisme yang menjajah dan eksploitatif. Prinsip kebangsaannya harus berjiwa gotong royong (mampu mengembangkan persatuan dari aneka perbedaan, “bhinneka tunggal ika”), bukan kebangsaan yang meniadakan perbedaan atau menolak persatuan. Prinsip demokrasi harus berjiwa gotong royong (mengembangkan musyawarah mufakat), bukan musyawarah yang didikte oleh suara mayoritas (mayokrasi) atau minoritas elite penguasa-pemodal (minorokrasi). Prinsip kesejahteraannya harus berjiwa gotong royong (mengembangkan partisipasi dan emansipasi di bidang ekonomi dengan semangat kekeluargaan), bukan visi kesejahteraan yang berbasis individualism-kapitalisme, bukan pula yang mengekang kebebasan individu.

TUGAS KAUM PELOPOR
Organisasi adalah alat untuk mencapai ideologi dengan politik atau cara tertentu. Untuk mencapai tujuan (ideologi) dan melalui cara (politik) tertentu tidak mungkin dilakukan secara sendiri-sendiri tanpa kepemimpinan, platform, kader, atau tanpa dukungan massa rakyat yang luas. Sebuah organisasi diperlukan sebagai alat yang menyatukan kekuatan setiap anggotanya, rakyat dan kepemimpinan dalam satu komando bersama.
Seperti sebuah kereta api, organisasi memerlukan lokomotif yang akan menarik dan memimpin perjalanan gerbong-gerbong (kader, dan anggota) yang berisikan penumpang (massa rakyat). Inilah yang kita sebut sebagai kesatuan antara pimpinan, kader, dan massa rakyat dalam sebuah organisasi perjuangan. Untuk mencapai tujuannya maka kereta api memerlukan jalan atau rel, mengisi bahan bakar, memperbaiki mesin, serta menambah atau mengurangi gerbong.
Politik adalah rel kereta dan stasiun-stasiun perhentian yang memang harus dilewati untuk menurunkan dan menaikkan penumpang, untuk menambah bahan bakar dan memeriksa kekuatan lokomotif yang menarik setiap gerbong.

Ideologi adalah bintang pemandu gerak sejarah untuk mencapai cita-cita perjuangan kita. ideologi yang menjadi jelas bagi perjuangan kita adalah ideologi yang berisikan nilai-nilai kebangsaan, kemanusiaan, mufakat/demokrasi, keadilan sosial, serta Ketuhanan yang berkebudayaan.  
Keinginan dan dorongan untuk membentuk masyarakat yang adil dan makmur demikian itulah yang menjadi batu bara bagi kereta api perjuangan kita. Tujuan mulia masyarakat adil dan makmur tidak jatuh begitu saja dari langit, laksana embun diwaktu malam. Masyarakat adil dan makmur itu harus kita perjuangkan, bahkan dari mulai fikiran hingga tindakan, masyarakat yang demikian itu harus kita bangun.

Ideologi itulah sebagai bahan dasar terbentuknya pedang. Kekuatan sebuah pedang akan sangat ditentukan oleh bahan dasarnya. Jika bahan dasarnya tidak kuat dan mudah rusak maka pedang tersebut pun akan mudah rusak atau terpatahkan oleh lawan. Jika pedang tersebut terbuat dari baja yang tidak terkalahkan maka pedang tersebut tidak akan rusak dan patah oleh pedang apa pun juga. Ideologi adalah baja yang membentuk pedang untuk perjuangan.

Kelahiran REPDEM adalah bagian dari kesinambungan pergerakan dan perjuangan generasi Indonesia merebut dan menegakkan kedaulatan politik, kemandirian ekonomi, dan berkebudayaan Indonesia bersama-sama PDI Perjuangan.

REPDEM berperan sebagai simpul-simpul kebangsaan yang merekatkan persaudaraan dan kebangsaan Indonesia dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
REPDEM atau Relawan Perjuangan Demokrasi dilahirkan bukan sekedar alat perjuangan politik para aktivis pergerakan untuk meraih jabatan-jabatan politik di Partai maupun jabatan negara.
Sebagai organisasi yang memikul satu ideologi atau cita-cita perjuangan maka seluruh kader REPDEM atau Relawan Perjuangan Demokrasi tidak mengenal kata berhenti dalam menjalankan keyakinan perjuangannya, walaupun telah menduduki jabatan politik dilevel organisasi partai ataupun jabatan dilevel organisasi negara. Justru jabatan tersebut harus diisi untuk menjalankan praktek ideologi dalam segala aspek kebijakan organisasi, partai maupun negara.

Bagi REPDEM, militansi adalah gemuruh massa dalam suatu gerak teratur dan efektif yang hanya mungkin dicapai melalui penggalangan ideologis dan organisasi politik yang berdiri kokoh bersama massa, di dalam massa, untuk massa; terlihat atau tidak terlihat, terdengar atau tidak terdengar. Seluruh tenaga dan pikiran harus kita curahkan agar posisi kebudayaan pergerakan, ideologi dan organisasi perjuangan, segera dan seutuhnya menjadi kesadaran massa.
REPDEM percaya bahwa posisi pergerakan, organisasi dan ideologi perjuangan, sebagai suatu siasat kebudayaan pemuda mensikapi penderitaan rakyat menghadapi penindasan, penghisapan, dan pembodohan.

REPDEM mendukung dan melaksanakan hasil Kongres-III PDI Perjuangan di Bali April 2010 yang telah menegaskan sikap dan posisi politik PDI Perjuangan sebagai Partai ideologis berdasarkan Pancasila dengan jiwa dan semangat kelahirannya pada tanggal 1 Juni 1945, berikut UUD 1945 dan Trisakti sebagai dasar-dasar operasionalnya.
Penegasan jalan ideologis yang memihak pada rakyat kecil di atas bukan saja penting bagi masa depan PDI Perjuangan. Tetapi sangat fundamental bagi masa depan bangsa ini. Karena sebuah bangsa yang tidak dibangun di atas fondasi ideologi, ibarat membangun rumah di atas pasir; terkena angin sirna-lah dia. Ia bukan saja akan terombang-ambing, akan tetapi mudah tersapu oleh jaman. Dan tanda-tanda jaman yang akan menyapu bangsa ini kini berada di hadapan mata kita: sebagai bangsa kita kehilangan kedaulatan dalam bidang politik, kita kehilangan kemandirian dalam bidang ekonomi, dan kita kehilangan identitas dalam kebudayaan. (Megawati, Bali 2010)
Kongres-II Repdem bulan Januari 2011 meneguhkan komitmen pergerakan dan perjuangan seluruh kader REPDEM dari berbagai penjuru tanah air Indonesa untuk membangun kembali organisasi, mencetak dan melahirkan kader-kader ideologis yang disiapkan menjadi kader pelopor untuk memenangkan PDI Perjuangan. Mempelopori kebangkitan Indonesia MENEMUKAN JATI DIRI KEMERDEKAANNYA.
Mempersiapkan kader-kader REPDEM bagi pengembangan dan pembangunan Organisasi dan Partai yang mampu menjawab tantangan zaman ditengah-tengah menguatnya arus pragmatisme, transaksional dan serba instan yang meminggirkan cita-cita dan tujuan bersama dalam Indonesia Merdeka.
Penguatan infrastruktur organisasi melalui rekruitmen, pendidikan dan kaderisasi sebagai upaya melahirkan kader-kader organisasi yang ideologis; memiliki keterampilan berorganisasi, dedikasi, dan militansi. Peningkatan struktur organisasi menjangkau basis pengorganisiran dan basis sektoral produktif masyarakat.

Bagi REPDEM perjuangan ideologi bukanlah sekedar anjuran. Perjuangan ideologi membutuhkan pengorbanan, keteladan, dan tindakan; satunya kata dan perbuatan.
Kepeloporan hanya bisa dimiliki oleh sebuah organisasi yang berisikan anggota yang tertempa secara ideologi dan politik.
Massa rakyat adalah tulang punggung dalam perjuangan demokrasi. Garis massa hanya akan bisa dimiliki oleh organisasi progresif yang selalu berada dalam perjuangan bersama-sama dengan rakyat. Garis massa mempertegas arti bahwa perjuangan adalah untuk kepentingan rakyat. Dalam pelaksanaannya setiap kader harus hidup di tengah massa rakyat, mendengar pandangan-pandangan rakyat dan kemudian menyimpulkan serta memperjuangkannya bersama-sama.

PLATFORM PERJUANGAN REPDEM
  1.  Mempertahankan dan mewujudkan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945 di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  2. Melaksanakan, mempertahankan, dan menyebarluaskan Pancasila 1 Juni 1945 sebagai pandangan hidup bangsa.
  3. Menciptakan kader-kader ideologis yang terdidik, militan dalam berjuang, dan disiplin dalam berorganisasi.
  4. Membangun Organisasi yang Solid, Sistematik dan Terukur.
  5. Mendorong Terwujudnya Cita-cita TRISAKTI Bung Karno dalam praktek penyelenggaraan kehidupan bernegara (Berdaulat di Bidang Politik, Berdikari di Bidang Ekonomi, Berkepribadian Indonesia di Bidang Kebudayaan).
  6.  Melindungi dan Memperjuangkan Hak-Hak Politik, Ekonomi, dan Kebudayaan Rakyat Indonesia
  7.  Melakukan rekruitmen terhadap masyarakat yang belum berpartai.
  8. Menjadikan PDI Perjuangan sebagai alat perjuangan politik rakyat.
  9. Terlibat aktif memenangkan seluruh agenda politik PDI Perjuangan.
  10. Mengawal, menjaga, dan mengembalikan kedaulatan bangsa; khususnya pangan, energi, finansial, dan pertahanan.

PROGRAM ORGANISASI REPDEM
1.    Pendidikan dan Pelatihan (Kaderisasi)
2.    Pengorganisasian ke Dalam (Institutional Building) dan ke Luar (Networking)
3.    Aksi politik atau aksi protes massa, petisi maupun delegasi atas berbagai kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat
4.    Advokasi
5.    Kajian, Diskusi, Seminar, dan Kursus Politik
6.    Sosialisasi (Penerbitan, Website, Media Relation, etc)
7.    Pemberdayaan (pengembangan sikap gotong royong pemuda dan masyarakat sektoral)

Menteng, 6 Juni 2011
DEWAN PIMPINAN NASIONAL
RELAWAN PERJUANGAN DEMOKRASI
2011-2016

MASINTON PASARIBU                                       JULIAN GUNHAR
                         KETUA UMUM                                                SEKRETARIS JENDRAL