RAPIMNAS REPDEM

Sunday, August 28, 2011

TENTANG PENJAJAHAN BARU

Sejarah gelap penindasan struktural melalui penjajahan di dunia pada prinsipnya adalah bagian dari sejarah dominasi dan eksploitasi manusia atas manusia (l’exploitation de l’homme par l’homme). Sejarah itu tidak kunjung berhenti, belum juga menemukan titik terangnya hingga saat ini. Di berbagai penjuru dunia, masih banyak jerit derita dari kaum tertindas—mulai dari kaum tani, kaum buruh, nelayan dan miskin kota. Penderitaan ini jauh melampaui batas negara, lintas agama, lintas suku bangsa, ras, dan batas geografis. Perang, ketidaksetaraan, kelaparan, rendahnya pendidikan, pengangguran, degradasi lingkungan dan kemiskinan adalah bukti nyata penjajahan yang terjadi di hampir seluruh penjuru dunia dari mulai Asia, Amerika Latin hingga Afrika.
 
Penjajahan atau imperialisme inilah yang terus bertransformasi. Ia berubah-ubah, menyesuaikan diri: dari imperialisme kecil ke imperialisme raksasa, dari imperialisme jaman dulu ke imperialisme jaman sekarang, dari imperialisme kuno menjadi imperialisme modern. Imperialisme ini dilahirkan dari rahim kapitalisme, dan imperialisme modern jelas lahir dari rahim kapitalisme modern. Jika dulu kapitalisme kuno hanya berpraktek dengan mode produksi yang menindas hanya dalam skala kecil, maka kapitalisme modern saat ini berpraktek dengan mode produksi yang sangat mengerikan. Lihatlah betapa masifnya jutaan hektar tanah yang dikuasai untuk perkebunan, betapa banyak dan raksasanya pabrik-pabrik dengan asap mengepul di udara milik investor, lihatlah gedung-gedung pelayan jasa perbankan, asuransi, telekomunikasi yang mencakar langit. Penjajahan gaya baru inilah disebabkan kebijakan dan praktek neoliberalisme, yang oleh Soekarno dinyatakan sebagai neokolonialisme-imperialisme (nekolim).

Jika dulu penjajahan menggunakan pasukan bersenjata yang secara langsung merepresi rakyat, penjajahan gaya baru menyusup diam-diam dan menindas secara struktural. Jika dulu onderneming-onderneming kolonial merangsek lahan rakyat, pabrik-pabrik perkebunan kolonial, memberangus hak-hak kemerdekaan, hak-hak berkumpul, hak-hak berserikat, ditekan habis-habisan oleh penjajah maka sekarang belum tentu seperti itu. Dulu penjajahan langsung menginvasi daerah-daerah bangsa asli benua Asia, Amerika dan Afrika. Kaum penjajah ini kemudian mengaduk-aduk bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, lalu mengisapnya hasilnya untuk dialirkan langsung ke negara penjajah. Sekarang penjajahannya sungguh berbeda, karena perkebunan-perkebunan raksasa tidaklah masuk hanya dengan cara paksa. Hak-hak rakyat seakan-akan ditegakkan, namun pada esensinya bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi kita tetap digunakan untuk kepentingan pemilik kapital. Penjajahan gaya baru tidak terang-terangan, ia tidak dirasakan oleh rakyat tetapi secara ekonomi-politik, sosial dan budaya mempengaruhi pola pikir dan segala sendi kehidupan kita sehari-hari.

Dulu tidak ada yang namanya penjajahan budaya. Kini, akar budaya bangsa kita telah terkikis oleh penetrasi budaya asing. Bukan juga berarti budaya asing ini sesungguhnya jahat semua, namun neokolonialisme-imperialisme juga merasuki rakyat melalui jalan budaya. Lihat betapa kita diatur untuk terus berkonsumsi, bertindak individual, bahkan melupakan warisan luhur budaya nenek moyang kita. Budaya agraris di negeri gemah ripah loh jinawi Indonesia misalnya, terkikis dengan budaya industrial yang bercirikan kapitalistik-neoliberal ala Barat. Gotong-royong yang merupakan salah satu ciri khas bangsa Indonesia, juga sekarang makin rapuh diterpa hegemoni budaya individualistik yang cenderung liberal. Sementara, berbagai aspek budaya mulai dari kesenian, pendidikan, bahasa dan pola hidup sekarang banyak dipengaruhi oleh hegemoni Barat—padahal belum tentu sesuai dengan kepribadian bangsa.
Pada tataran kehidupan sehari-hari, neokolonialisme-imperialisme ini masih belum atau simpang siur dipahami rakyat. Namun rakyat tidak harus minder jika masih tidak atau belum mengerti arti istilah-istilah ini. Kita sebagai rakyat juga seharusnya jangan merasa diri kita bodoh atau tidak cukup mampu untuk memahami hal-hal tersebut. Ketidakpahaman dan kesimpangsiuran itu justru terjadi karena keinginan dan tujuan antek-antek neokolonialisme-imperialisme sendiri. Sementara, berbagai macam praktek penjajahan gaya baru di tingkat kehidupan sehari-hari serta istilah yang membingungkan mereka gunakan sebagai topeng untuk menutupi kejahatan mereka.

Neokolonialisme-imperialisme ini adalah penjajahan baru, yang merupakan warisan historis penjajahan lama. Tapi harus dimengerti dalam konteks Indonesia, dan dalam konteks geopolitik Asia, Afrika dan Amerika Latin, neokolonialisme-imperialisme sangatlah relevan jika merujuk sejarah kelam penjajahan. Karena itu pula segala bentuk penindasan yang dialami setelah bangsa Indonesia merdeka, dan juga setelah bangsa-bangsa lain di Asia, Afrika dan Amerika Latin pun merdeka, tak lain dan tak bukan adalah praktek neokolonialisme-imperialisme. Bentuk penindasan ini dilakukan via kekerasan pemerintah cq negara dengan hukum (judicial violence) dalam rangka melindungi penindasan modal (capital violence) dalam cabang-cabang produksi yang seharusnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. ‘Ekonomi-politik keruk’ semacam inilah yang juga secara faktual dialami di Indonesia, dan juga di negara-negara di Asia, Afrika dan Amerika Latin. Secara alamnya, memang kawasan ini pula yang kaya akan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Dampaknya neokolonialisme-imperialisme juga sama mengerikan. Jutaan rakyat di dunia—terutama di kawasan Asia, Afrika dan Amerika Latin—menderita kelaparan, ratusan juta lainnya masih dihantui kemiskinan. Sementara segelintir orang tetap berkuasa, mengisap keuntungan dari arus perputaran kapitalnya. Selanjutnya, surplus kapital tersebut masih juga diputar lagi di negara-negara miskin dan berkembang. Kejadian ini terus berulang hingga saat ini dengan aktor-aktor penjajahan baru selain negara: perusahaan transnasional raksasa (TNCs) dan lembaga-lembaga rejim internasional seperti Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia dan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Namun secara historis, bangsa-bangsa di kawasan Asia, Afrika dan Amerika Latin ini jugalah yang tercatat sebagai bangsa-bangsa pejuang yang tidak diam saja menghadapi penjajahan. Bangsa-bangsa di Asia, Afrika dan Amerika Latin inilah yang pertama kali bergerak melawan penjajah. Bangsa-bangsa ini pulalah yang keinginan merdekanya sangat kuat. Dan akhirnya bangsa-bangsa ini pula yang akhirnya menjadi negara-negara merdeka di dunia, dengan perjuangan berat yang mengorbankan keringat, darah dan air mata rakyatnya.
Setelah melewati perjuangan melawan kolonialisme yang berabad-abad lamanya, mulai pertengahan abad ke-20 di kawasan Asia, Afrika dan Amerika Latin ini mulailah bermunculan negara-negara yang merdeka. Dan pada tahun 1955, akhirnya negara-negara dari kawasan Asia dan Afrika menyatakan kepada dunia dengan suara lantang: bahwa rakyat di Asia dan Afrika menolak yang namanya imperialisme. Dan bahwa hal ini diamini oleh konstitusi Republik Indonesia UUD 1945 naskah asli sesuai pembukaannya, “Bahwa kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.” Momentum Konferensi Asia Afrika yang dilaksanakan negara-negara baru tersebut tercatat dalam tinta emas sejarah sebagai perlawanan terhadap penjajahan (anti-kolonialisme dan anti-imperialisme), yang notabene selama berabad-abad diderita rakyat di kawasan tersebut. Hingga saat ini, Dasasila Bandung yang menjadi hasil Konferensi Asia Afrika masih tetap dirasakan relevan maknanya di level global.

Namun situasi ekonomi-politik dunia yang menindas tidak berhenti begitu saja. Pada tahun 1944, 11 tahun sebelum Konferensi Asia Afrika berlangsung, muncul sebuah kesepakatan licik untuk menguasai dunia. Dirancanglah sebuah rejim ekonomi-politik yang mengatur tiga bagian besar isu secara global. Yang pertama adalah untuk mengatur moneter (keuangan) dunia, yang kedua mengatur pembangunan dunia, dan yang ketiga mengatur perdagangan dunia. Ketiga rejim yang akhirnya menjadi kaki tangan neokolonialisme-imperialisme inilah yang akhirnya membentuk rejim dana moneter internasional (IMF), rejim Bank Dunia, dan rejim perdagangan dunia (GATT—yang lalu berubah menjadi WTO).

Di bidang ekonomi-politik secara global, tahun 1944 ini juga menjadi tonggak munculnya ideologi baru yang disebut sebagai neoliberalisme. Ideologi inilah yang digunakan untuk menjajah kembali, yang merupakan tahap kedua dari kolonialisme-imperialisme. Jika tahap pertama kolonialisme-imperialisme dicirikan dengan ekspansi fisik dan dimulai dari Eropa, maka tahap kedua ini dimulai dengan dominasi ilmu pengetahuan dan model pembangunan dengan ideologi pembangunanisme (developmentalisme). Ideologi pembangunanisme ini sendiri pernah dipraktekkan di Indonesia dalam rejim Soeharto yang represif dan korup (1966-1998).

Sementara tahap ketiga dari penjajahan ini adalah yang seperti kita hadapi sekarang ini. Sesaat menjelang abad ke-21 muncullah istilah globalisasi, yang sebenarnya adalah perwujudan dari globalisasi-neoliberalisme. Globalisasi-neoliberalisme, yang sering disebutkan sebagai globalisasi saja, jelas merupakan salah satu transformasi kolonialisme-imperialisme menjadi neokolonialisme-imperialisme atau penjajahan gaya baru, lewat tiga pilar yang disebut Konsensus Washington, yakni (1) deregulasi; (2) privatisasi; dan (3) liberalisasi pasar.

Globalisasi-neoliberal merupakan suatu proses pengintegrasian sistem ekonomi-politik nasional ke dalam sistem ekonomi-politik global, yang diperankan oleh aktor-aktor utama dalam proses tersebut. Aktor-aktornya adalah negara-negara penjajah baru, perusahaan transnasional raksasa (TNCs), IMF, Bank Dunia dan WTO, serta lembaga-lembaga riset dan donor dunia. Mereka inilah yang mempromosikan kebijakan dan praktek fundamentalisme pasar, sehingga yang kuat secara kapital dialah yang terus berkuasa. Prakteknya juga dicirikan dengan pelan-pelan mengurangi kedaulatan rakyat dalam negara, sehingga peran negara lemah. Kurangnya peran negara ini dimanfaatkan aktor-aktor tersebut untuk mengisap kembali sumber daya manusia, bumi, air, dan kekayaan alam yang ada di negara-negara miskin dan berkembang.

Selanjutnya, aktor-aktor ini juga menggunakan peran negara yang lemah untuk membuat regulasi yang bisa menguntungkan mereka sendiri. UU atau peraturan yang disahkan pastilah mengenai tiga hal: (1) Diposisikannya perekonomian negara miskin dan berkembang sebagai pemasok bahan mentah bagi industri-industri di negara maju; (2) Dijadikannya perekonomian negara miskin dan berkembang sebagai pasar produk yang dihasilkan oleh industri-industri di negara maju; dan (3) Dijadikannya perekonomian negara miskin dan berkembang sebagai tempat untuk memutar kelebihan kapital yang terdapat di negara-negara maju.

Beberapa hal di atas itulah yang sebenarnya menjadi pangkal masalah. Dan masalah yang diakibatkan ternyata tidak sama seperti yang terjadi pada jaman Perang Dunia atau di jaman Perang Dingin antara Amerika Serikat versus Uni Sovyet. Selama puluhan tahun sejak tahun 1940-an, sebenarnya secara relatif perdamaian telah terwujud di dunia. Namun disana-sini masih terlihat masalah-masalah yang sama berulang kembali dewasa ini. Masalah-masalah yang terus terlihat jelas dewasa ini adalah, peperangan yang menjatuhkan korban jutaan jiwa, jatuhnya bom atom, krisis nuklir, kelaparan ratusan juta jiwa rakyat di seantero dunia, kemiskinan di negara-negara belahan bumi selatan, serta ketidakseimbangan ekonomi-politik dunia.
Nasib umat manusia tentu tidak dapat ditentukan oleh beberapa bangsa yang kuat saja. Bangsa-bangsa yang lebih muda, bangsa-bangsa tunas baru yang menyeruak ke permukaan dari ratusan tahun kolonialisme, bangsa-bangsa baru di belahan bumi selatan bumi ini telah bersedia maju untuk memikul tanggung jawab bersama untuk mengubah dunia dari kekejaman penjajahan gaya baru. Bahkan suara untuk membentuk tata dunia baru yang lebih berperikemanusiaan dan berperikeadilan bisa dikatakan diinisiasi dari bangsa-bangsa baru ini.

Bahwa imperialisme belum lagi mati, itu jelas menjadi kesimpulan utama. Bahwa seluruh rakyat yang berada di negara-negara Asia, Afrika, Amerika Latin dan bahkan dari belahan dunia lain merasakannya kembali saat ini, adalah kenyataan yang sebenar-benarnya. Penegasan yang dinyatakan rakyat adalah bahwa imperialisme telah berubah bentuk, berubah muka, berubah praktek, berubah modus operandi, berubah aktor-aktornya. Dan kesimpulannya tidak bisa ditawar-tawar lagi. Penjajahan gaya baru, neokolonialisme-imperialisme itu harus dilawan.

Telah banyak pula muncul suara untuk melawan globalisasi-neoliberal dewasa ini. Telah banyak pula suara untuk menegakkan kembali kedaulatan rakyat dalam negara. Tak pupus pula rakyat di negara-negara Asia, Afrika dan Amerika Latin mengetuk semua forum, pintu dan kesempatan di dalam pergaulan masyarakat global untuk memerangi globalisasi-neoliberal. Dan untuk berjuang menghadapinya, jelas negara-negara bangsa harus bersatu dan tidak bisa tercerai-berai. Untuk memerangi makhluk terkutuk-musuh kedaulatan rakyat ini, jelas harus terwujud solidaritas antarnegara, antarbangsa, dan juga sesama rakyat sendiri.

Solidaritas ini tidak hanya sekadar memupuk persaudaraan dan gotong-royong yang kuat di antara seluruh rakyat tertindas, namun juga di sisi lain bahwa secara faktual neokolonialisme-imperialisme ini sangatlah kuat. Ia berwujud pada lapisan-lapisan yang kuat antaraktor-aktornya, ia berwujud pada kolaborasi yang mengerikan dari bawah hingga atas, ia terstruktur dari desa hingga ke level global, ia bergerak dari budaya keseharian di tengah kehidupan rakyat jelata hingga ke forum-forum internasional, ia bersilang-sengkarut dari perusahaan-perusahaan raksasa, birokrat, pemerintah korup, penguasa, lembaga keuangan dan perdagangan internasional, negara-negara hingga hegemoni global.

TENTANG NEOLIBERALISME

Neoliberalisme adalah sebuah pola pemikiran politik (ideologi} Barat yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi diatas segala-galanya. Dasar pemikirannya adalah bahwa yang lemah harus dikorbankan supaya yang kuat bisa berkembang dengan bebas, agar ekonomi nasional juga ikut berkembang. Penganut neoliberal beranggapan bahwa pada akhirnya yang miskin akan ikut mendapat manfaat dari ekonomi yang berkembang secara kapitalistik. Ideologi ini berdasarkan filsafat individualisme dan berusaha untuk menghapus unsur-unsur kemasyarakatan dan sikap gotong-royong. Ideologi ini sangat bertentangan dengan kebudayaan dan sistem kemasyarakatan di Indonesia.

Dalam pola pemikiran neoliberal, peraturan-peraturan ekonomi harus menguasai sektor-sektor yang lain, bukan sebaliknya. Apa saja yang menghalangi perkembangan sektor ekonomi harus dihilangkan termasuk peraturan-peraturan dan undang-undang pemerintah. Akibatnya, negara terhambat dalam menjamin kesehatan rakyat, kesejahteraan, kedaulatan nasional dan melestarikan lingkungan hidup jika dianggap bahwa kebijakan-kebijakan itu menghambat pertumbuhan ekonomi. Akibat dari penerapan ekonomi neoliberal itu, dalam 20 tahun terakhir  kesenjangan sosial semakin besar di hampir semua negara di dunia yang menerapkan kebijakan neoliberal.

Wednesday, August 17, 2011

Kontrak Karya Freeport digugat IHCS

Kamis, 16 Juni 2011 

JAKARTA. PT Freeport Indonesia kembali menuai gugatan. Kali ini perusahaan tambang emas terbesar di dunia itu mendapatkan gugatan legal standing dari Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Lembaga swadaya masyarakat itu menggugat Kontrak Karya (KK) antara Freeport dengan Pemerintah RI yang sudah dibuat sejak tahun 1991, karena secara ekonomi merugikan Indonesia.

Selain Freeport, IHCS juga memasukkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Presiden Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai turut tergugat. Mereka dianggap lalai mengawasi Freeport sehingga pendapatan negara tidak maksimal.
Dalam berkas gugatannya, IHCS menilai tarif royalti yang dibayarkan Freeport menabrak Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 tahun 2003 tentang Tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Dalam beleid PNBP itu ditetapkan bahwa tarif royalti emas adalah sebesar 3,75% dari harga jual per ton. Untuk tembaga, royalti yang ditetapkan adalah sebesar 4% dari harga jual per kilogram, dan royalti perak ditetapkan sebesar 3,25% dari harga jual per kilogram.
Nyatanya, Freeport masih membayarkan tarif royalti kepada Indonesia sesuai dengan KK tahun 1991. Dalam KK tersebut, besar royalti tembaga sebesar 1,5%, adapun royalti emas dan perak cuma sebesar 1% dari harga jual. 

Nah, menurut hitungan IHCS total kerugian negara akibat pembayaran royalti dari Freeport yang lebih rendah dari ketentuan beleid PNBP itu sebanyak US$ 256,2 juta. "Makanya telah ada perbuatan melawan hukum dilakukan para tergugat," ujar David Sitorus, salah satu perwakilan IHCS, kemarin (15/6).
Dalam gugatannya, IHCS menuntut biaya ganti rugi sebanyak Rp 70 triliun. IHCS juga menuntut penghentian kegiatan pertambangan Freport.
Juru Bicara Freeport Ramdani Sirait menyatakan, kontrak dengan pemerintah sudah adil dan sesuai dengan aturan main yang berlaku.
Adapun Menteri ESDM Darwin Zaedy Saleh belum bisa memberikan komentar terkait gugatan ini.


http://nasional.kontan.co.id/v2/read/1308178867/70353/-Kontrak-Karya-Freeport-digugat-IHCS

Friday, August 12, 2011

PEMIMPIN TANPA GAGASAN


Carut marutnya situasi dan kondisi bangsa ini merupakan sepenuhnya tanggung jawab pemimpin atau elit penguasa ditingkat nasional maupun lokal. Akar persolan ini jika di urai satu persatu ternyata ada dalam mekanisme rekrutmen dan talent scouting didalam partai-partai politik.

Konstruksi sosial sebuah bangsa sangat dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan politik dominan, dalam hal ini tentunya adalah partai-partai yang jika digabung memiliki lebih dari 90% kursi diparlemen nasional maupun lokal, partai-partai yang memiliki kader yang menduduki jabatan di eksekutif, mulai dari presiden sampai dengan bupati/walikota. Dan jangan dilupakan bahwa jabatan  lain seperti sekda, kepala bagian, kepala dinas didaerah,dari menteri sampai dirjen, bahkan Hakim Agung dan Ketua KPK merupakan orang-orang yang duduk sebagai hasil dari tarik menarik dan tawar menawar kepentingan partai-partai politik tersebut. Maka tidak heran jika bukan hanya pergantian menteri dan seterusnya yang terjadi pada pergantian kepemimpinan nasional, bahkan pergantian kepala dinas dan sekda juga merupakan hal yang pasti terjadi setelah kepala daerah dilantik. Yang lebih kentara dalam dinamika politik didaerah adalah penentuan calon bupati/wakil, walikota/wakil dan gubernur/wakil ditentukan berdasarkan komposisi atau persentasi dari jumlah kursi di parlemen lokal. Ini artinya bahwa partai politik memiliki akses yang luar biasa besar menuju kekuasaan dan punya peran dan tanggung jawab yang besar atas nasib rakyat dan bangsa ini.

Yang kita gugat disini adalah seberapa transparan dan partai politik dalam melakukan rekrutmen anggota dan kadernya? Dan yang tak kalah penting apakah talent scouting benar-benar dijalankan sebelum partai harus menentukan siapa kadernya yang maju dalam kompetisi politik di tingkat nasional dan lokal?

Ada dua hal penting yang tampaknya sangat dibutuhkan dan menjadi pertimbangan partai dalam merekrut 'kader-kader'nya atau tokoh yang diusung partai dalam pemilihan nasional dan lokal, hal ini juga dilatarbelakangi oleh kebutuhan partai dan jalan pintas untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Pertama adalah kebutuhan partai akan logistik operasional dan yang kedua adalah kebutuhan partai akan suara dalam kompetisi politik. Untuk memenuhi kebutuhan yang pertama, partai biasanya merekrut pengusaha yang pasti mau menalangi sebagian dari kebutuhan partai. Yang kedua adalah partai merekrut vote getter, dalam hal ini adalah selebritis. Pilihan ini tentu dengan pertimbangan bahwa kedekatan akses selebritis tersebut terhadap media sehingga akan semakin terbuka kemungkinan bagi dirinya untuk menambah suara. Seorang pemain sinetron atau miss indonesia tentu saja jauh lebih populer dibanding dengan seorang tokoh masyarakat biasa yang setiap hari berkeringat dan berlepotan lumpur got dan sampah gotong royong. Ini mungkin saja merupakan sinyalemen kepanikan para petinggi partai karena tidak memiliki kader asli yang dapat menjadi vote getter sehingga memilih tokoh-tokoh yang populer sebagai calon yang mewakili partai dalam setiap kompetisi politik. 

Dua kebutuhan yang hanya bisa dijawab partai dengan tergesa-gesa tersebut mengindikasi dua hal. pertama, memang partai-partai di Indonesia belum memiliki nilai jual, sehingga partai tidak memiliki kepercayaan diri yang cukup untuk melakukan fund rising secara sehat dan transparan. Kedua, ada masalah dalam talent scouting yang dilakukan partai atau lebih parahnya memang partai tidak memiliki kader yang memiliki talenta untuk di usung.

Tulisan ini lebih mencoba mengangkat kemungkinan hadirnya para pemimpin tanpa gagasan sebagai akibat kegagalan partai dalam melakukan rekrutmen dan kaderisasi internal secara sehat. Persoalan ini dapat menjadi masalah besar karena calon yang mewakili partai tersebut ternyata kemungkinan besar memiliki ideologi atau visi pribadi yang berbeda dengan partai. Jika kader-kader partai yang sudah berhitung tahun saja masih gagap dalam mengimplementasikan ideologi dan platform partai dalam politik anggaran, apalagi kader-kader baru ini.

Jika pengusaha masuk kedalam partai dan atau di usung partai karena pertimbangan kemampuannya dalam membiayai operasional partai dan selebritis karena kemampuannya dalam mendongkrak perolehan suara partai, maka bersiaplah kita memiliki pemimpin tanpa gagasan bagaimana membangun bangsa ini menuju kehidupan yang lebih baik. Nasib jutaan rakyat negeri ini dikorbankan karena kepanikan elit partai yang kekurangan pembiayaan operasional dan kebutuhan akan suara agar partai eksis pada musim kompetisi berikutnya.

Tetapi diatas segala kekurangan tersebut, Partai masih tetap satu-satunya alat yang paling mungkin dan konstitusional untuk mendapatkan kekuasaan, yang dengan itu nasib seluruh rakyat negeri ini ditentukan. Jika kita membiarkan partai dipenuhi oleh orang-orang yang cacat moral dan cacat kapasitas maka dosa kolektif itu juga ada pada kita semua atas tindakan pembiaran kita.

“Ilmu dan gagasan di tangan seorang pemimpin adalah pisau tebas, kebodohan ditangan seorang
pemimpin adalah bunuh diri massal”

Monday, August 08, 2011

Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi

Negeri–negeri Eropa mengenal istilah parlementair democratie (demokrasi parlementer) setelah adanya Revolusi Perancis. Parlementair democratie inilah yang dinamakan demokrasi politik, yang pada dasar prinsipnya adalah semua lapisan rakyat mempunyai hak bercampur tangan di dalam politik kenegaraan, hak buat memilih anggota parlemen dan dipilih menjadi anggota parlemen.
 
Jika dilihat secara sekilas memang demokrasi semacam ini sepertinya sudah 100% menyenangkan bagi rakyat: “dengan rakyat, oleh rakyat, buat rakyat”. Tapi sesungguhnya dalam prakteknya rakyat belum 100% senang, terutama di dalam urusan rezeki, urusan ekonomi. Di negara-negara yang memiliki demokrasi parlementer seperti Amerika, Belgia, Belanda, dll disitulah ada kapitalisme. Disanalah kapitalisme tumbuh dengan suburnya dengan memakai tenaga perburuhan. Oleh karena itu parlementair democratie (demokrasi parlementer) belum cukup untuk mensejahterakan rakyat. Perlu ditambah demokrasi pada lapangan yang lainnya, yaitu demokrasi ekonomi. Demokrasi yang mencukupi adalah demokrasi politik dilengkapi demokrasi ekonomi.

Seperti yang tadi dijelaskan, demokrasi parlementer berdiri di Perancis yang pada awalnya negara tersebut merupakan negara feodal dengan cara pemerintahan yang autokratis. Semua kekuasaan kenegaraan, membuat undang-undang, kehakiman, semuanya berpusat ditangan seorang raja. Ia menyatukan dirinya dengan negara sehingga menjadi L’ Etat,c’est moi – negara ialah aku. Inilah cara pemerintahan yang disebut dengan absolute monarchie (monarki absolut), dipimpin oleh seorang raja yang kekuasaanya tidak terbatas. Sang raja mem’’bentengi” kekuasaaannya dengan kesetiaan kaum bangsawan dan kaum yang terpandang.

Namun sekitar akhir abad 18 mulai muncul satu kelas baru pada masyarakat Perancis waktu itu, yang makin lama makin bertambah arti, dan makin kuat. Kelas baru tersebut ialah kelasnya kaum perusahaan. Kelas kaum industri, kaum borjuis, yang menjalankan perusahaan-perusahaan untung mencari untung. Pada awal-awal masa terbentuknya kaum borjuis ini, mereka belum menenmui masalah terhadap pemerintahan feodal itu. Tapi lama kelamaan posisi merekamenjadi penting dalam produksi-produksi masyarakat Perancis sehingga akhirnya kaum borjuis merasakan belengu yang disebabkan oleh pemerintahan monarki absolut tersebut. Segala kekuasaan berada ditangan raja, semua hukum dibuat oleh raja, kaum borjuis harus menerima saja semua aturan-aturan tersebut. Akhirnya merekapun tidak bisa mendapatkanhasil maksimal atas apa yang sudah mereka usahakan.

Kaum borjuis pada akhirnya mencoba memegang kemudi pemerintahan. Jalan satu-satunya pada saat itu ialah  dengan merebut kekuasaan. Tapi apadaya mereka, pihak kerajaan menguasai balatentara, raja bisa memerintah polisi dan hakim – hakim. Disinilah kaum borjuis tersebut memiliki peran yang hebat dalam sejarah itu: mencari kekuatan itu pada rakyat jelata. Mereka semangatkan rakyat dan me“mobilisir” rakyat jelata menjadi suatu tenaga bagi kepentingan mereka sendiri. Kaum borjuis menyadari bahwa rakyat jelata sudah lama ditindas oleh kekuasaan feodal kerajaan. Maka dengan dibangkitkannya pekik perjuangan liberte, egalite, fraternite “kemerdekaan, persamaan, persaudaaraan” serta dengan tuntutan “semua bagi rakyat, semua dengan rakyat, semua oleh rakyat” dan dengan mendirikan parlemen pada saat itu maka terdapatlah apa yang dinamakan dengan Parlementaire Democratie, cara pemerintahan berdasarkan kepada suara rakyat dan kehendak rakyat. Rakyat jelata berjuangan mati-matian demi ideologi baru tersebut. Sampai pada akhirnya bendera Republik Perancis berhasil berkibar sampai sekarang beserta demokrasi parlementernya. 
Revolusi tersebut berhasil! Revolusinya kaum perusahaan dengan menggunakan tenaga dan darah rakyat jelata, berhasil menghapus feodal, otokrasi dan absolutisme. Sehingga memaksa pula negara-negara kerajaan di Eropa berubah menjadi constitutionele monarchie (kerajaan berdasarkan konstitusi) yang harus tunduk kepada undang-undang dan kehendak rakyat.
 
Memang pengaruh feodalisme dari kerajaan benar-benar luntur sama sekali. Tapi munculah kelas kapitalisme yang berkuasa sehinga kapitalisme mulai naik secara jelas. Rakyat jelata yang sebelumnya berjuang mati-matian ternyata setelah kekuasaan yang baru tetaplah sengsara. Dilapangan ekonomi rakyat jelata tersebut tetap merupakan kelas yang menderita. Walaupun mereka setelah revolusi itu memang memiliki hak politik untuk memilih diparlemen, boleh masuk parlemen, boleh bersuara, boleh memprotes – dulunya rakyat hanya memiliki kewajiban saja tanpa memiliki hak sama sekali. Namun dalam bidang ekonomi mereka tetaplah menjadi budak, sama sekali lemah dan tidak berdaya apa - apa. Karena itu timbul kesadaran baru : demokrasi politik itu musti ditambah lagi dengan demokrasi ekonomi. “Orang lapar tidak akan tertolong kalau dia bisa membuka buku undang-undang dasar, tetapi tidak mendapat nasi kenyang-kenyang; bahwasannya satu penghinaanlah kepadanya, kalau mengasihi kerugian kepadanya semacam itu”
 
Azas demokrasi parlementer hanya mengenai kesamarataan politik saja, itu tidak mengenai urusan ekonomi. Azas demokrasi parlementer tetap menghormati milik perseorangan pribadi sebagai sesuatu yang tidak boleh digangu dan tidak boleh dilanggar dan dianggap satu pusaka yang keramat. Hanya menjaminkam “perlindungannya” milik peribadi tidak bisa merubah “isinya” milik pribadi. Ekonomis liberalisme dan politik liberalisme,        -liberalisme maksudnya paham kemerdekaan-, ekonomis liberalisme dan politik liberalisme itulah induk dari parlementaire democratie, dapur dimana parlementaire democratie diracik. Oleh karena itu demokrasi parlementer merupakan demokrasi yang borjuis pula.

-Bung Karno. Di Bawah Bendera Revolusi-

Pengertian Bangsa

Bangsa secara umum dapat diartikan sebagai “Kesatuan orang-orang yang sama asal keturunan, adat, agama, dan historisnya”. Bangsa adalah sekelompok besar manusia yang memiliki cita-cita moral dan hukun yang terikat menjadi satu karena keinginan dan pengalaman sejarah di masa lalu serta mendiami wilayah suatu Negara.
Mengenai makna atau pengertian Bangsa, banyak tokoh atau ahli ketatanegaraan yang mengemukakan pendapatnya, antara lain sebagai berikut:
1. Ernest Renan
Sebagai Ilmuwan Prancis, Ernest Renan berpendapat bahwa bangsa terbentuk karena adanya keinginan untuk hidup bersama dengan perasaan kesetiakawanan yang Agung.
2. F.Ratzel
Seorang ahli dari Jerman ini berpendapat bahwa sebuah bangsa terbentuk karena adanya hasrat bersatu. Hasrat atau keinginan tersebut muncul karena adanya perasaan kesatuan antara manusia dan lingkungan tempat tinggalnya.
3. Hans Kohn
Ilmuwan dari Jerman ini berpendapat bahwa bangsa adalah buah hasil tenaga hidup manusia dalam sejarah.
4. Jalobsen dan Lipman
Berpendapat bahwa bangsa adalah suatu kesatuan budaya dan kesatuan politik (Culture Unity and Political Unity).
5. Otto Bauer
Ilmuwan dari Jerman ini berpendapat bahwa pengertian bangsa adalah sekelompok manusia yang mempunyai kesamaan karakter atau sifat, karena adanya persamaan nasib.
Dari pendapat-pendapat tersebut masih ada banyak lagi tentang pengertian Bangsa, yaitu Bangsa adlaah “Rakyat yang telah mempunyai kesatuan tekad untuk membangun masa depan bersama, dengan cara mendirikan suatu Negara yang akan mengurus terwujudnya aspirasi dan kepentingan bersama secara adil”.

AMANAT BUNG KARNO

Ernest Renan berkata: bangsa adalah satu jiwa
Memang benar begitu!
Marilah kita kembali kepada jiwa kita sendiri! Jangan kita menjadi satu bangsa tiruan! Jiwa Indonesia adalah jiwa gotong royong, jiwa persaudaraan, jiwa kekeluargaan. Kita telah merumuskan jiwa yang demikian itu dengan apa yang dinamakan Pancasila. Hanya Pancasila yang sesuai dengan jiwa Indonesia.
Marilah kita setia kepada Proklamasi 17 Agustus 1945, -Proklamasi yang bernafas Pancasila!
-Soekarno-